feedburner
Enter your email address:

Delivered by FeedBurner

feedburner count

Mengenal Ergonomi Makro

Label:

Sebelum membahas tentang ergonomi makro, harustau dulu tentang ergonomi…..
Ngerti donk anak TI apa itu ergonomi????????????????
Mulai dari APK 1 klo g salah ergonomi dah di singgung2, inget gak??
Diingetin lagi yah….
Ergonomi
Ergonomi yaitu ilmu yang mempelajari perilaku manusia dalam kaitannya dengan pekerjaan mereka. Sasaran penelitian ergonomi adalah manusia saat bekerja dalam lingkungan. Secara singakat dapat dikatakan bahwa ergonomi adalah penyesuaian tugas pekerjaan dengan kondisi tubuh manusia untuk menurunkan stress yang akan dihadapi. Upayanya antara lain berupa menyesuaikan ukuran tempat kerja dengan dimensi tubuh agar tidak melelahkan. Dan pengaturan suhu, cahaya, serta kelembaban bertujuan agar sesuai dengan kebutuhan manusia.
Ada beberapa definisi menyatakan bahwa ergonomi ditujukan untuk
“fitting the job to the worker”, sementara itu ILO antara lain menyatakan,
sebagai ilmu terapan biologi manusia dan hubungannya dengan ilmu teknik
bagi pekerja dan lingkungan kerjanya, agar mendapatkan kepuasan kerja
yang maksimal selain meningkatkan produktivitasnya”.
Ruang lingkup ergonomik sangat luas aspeknya, antara lain meliputi :
- Tehnik
- Fisik
- Pengalaman psikis
- Anatomi, utamanya yang berhubungan dengan kekuatan dan gerakan otot
dan persendian
- Anthropometri
- Sosiologi
- Fisiologi, terutama berhubungan dengan temperatur tubuh, Oxygen up
take, pols, dan aktivitas otot.
- Desain, dll
Penerapan Ergonomi di tempat kerja bertujuan agar pekerja saat
bekerja selalu dalam keadaan sehat, nyaman, selamat, produktif dan
sejahtera. Untuk dapat mencapai tujuan tersebut, perlu kemauan,
kemampuan dan kerjasama yang baik dari semua pihak. Pihak pemerintah
dalam hal ini Departemen Kesehatan sebagai lembaga yang bertanggungjawab
terhadap kesehatan masyarakat, membuat berbagai peraturan,
petunjuk teknis dan pedoman K3 di Tempat Kerja serta menjalin kerjasama
lintas program maupun lintas sektor terkait dalam pembinaannya
Setelah mengetahui apa itu ergonomi sekarang coba kiata membahas tentang ergonomi makro….
Ergonomi dengan ergonomi makro tentunya mempunyai kaitan yang sangat erat, kasarannya ergonomi makro adalah ergonomi yang bersifat makro…..
Maka dapat dikatakan juga Ergonomi Makro adalah pendekatan sistem sosioteknik dari tingkatan atas ke bawah yang diterapkan pada perancangan sistem kerja secara keseluruhan pada berbagai level interaksi ergonomi mikro seperti manusia-pekerjaan, manusia-mesin dan manusia-perangkat lunak. Bagi para ergonomist, ergonomi makro merupakan suatu perspektif untuk melihat sistem dalam skala yang lebih besar agar investasi dari ergonomi mikro lebih berhasil.



Produktivitas

Label:

Pengertian produktivitas dikemukakan dengan menunjukkan rasio output terhadap input. Input dapat mencakup biaya produksi dan peralatan. Sedangkan output bisa terdiri dari penjualan, pendapatan, market share, dan kerusakan. Produktivitas tidak sama dengan produksi, tetapi produksi merupakan komponen dari usaha produktivitas.
Ada yang melihat pada performansi dengan memberikan penekanan pada nilai efisiensi. Efisiensi diukur sebagai rasio output dan input. Dengan kata lain, pengukuran efesiensi menghendaki outcome, dan penentuan jumlah sumber daya yang dipakai untuk menghasilkan outcome tersebut. Dengan demikian, pengertian produktivitas dapat didefinisikan sebagai rasio antara efektivitas pencapaian tujuan pada tingkat kualitas tertentu (output) dan efisiensi penggunaan sumber daya (input). Produktivitas merupakan suatu kombinasi dari efektivitas dan efisiensi, sehingga produktivitas dapat dirumuskan (Gaspersz, 1998):
pro
Pengukuran produktivitas yang hanya memperhitungkan salah satu sumber daya sebagai variabel input dikenal sebagai produktivitas faktor tunggal (single-factor productivity). Sementara pengukuran produktivitas yang memperhitungkan semua variabel input (tenaga kerja, material, energi, modal) dikenal sebagai produktivitas multifaktor (multyfactor productivity) atau produktivitas faktor total (Hayzer dan Render, 2005).




Pengukuran Waktu Kerja dengan Jam Henti (Stopwatch Time Study)

Label:

Pengukuran waktu kerja menggunakan jam henti diperkenalkan Frederick W. Taylor pada abad ke-19. Metode ini baik untuk diaplikasikan pada pekerjaan yang singkat dan berulang (repetitive). Dari hasil pengukuran akan diperoleh waktu baku untuk menyelesaikan suatu siklus pekerjaan yang akan dipergunakan sebagai waktu standar penyelesaian suatu pekerjaan bagi semua pekerja yang akan melaksanakan pekerjaan yang sama
Aktivitas pengukuran kerja dengan jam henti umumnya diaplikasikan pada industri manufakturing yang memiliki karakteristik kerja yang berulang, terspesifikasi jelas, dan menghasilkan output yang relatif sama.
a. Waktu Siklus dan Jumlah Pengamatan
Waktu yang diperlukan untuk melaksanakan elemen-elemen kerja pada umumnya sedikit berbeda dari siklus ke siklus kerja sekalipun operator bekerja pada kecepatan normal dan seragam, setiap elemen dalam siklus yang berbeda tidak selalu bisa diselesaikan dalam waktu yang sama.
Aktivitas pengukuran kerja pada dasarnya merupakan proses sampling. Konsekuensinya adalah semakin besar jumlah siklus kerja diukur maka akan semakin mendekati kebenaran akan data waktu yang diperoleh. Konsistensi dari hasil pengukuran dan pembacaan waktu merupakan hal yang sangat diperlukan dalam proses pengukuran kerja. Semakin kecil variasi data yang ada, jumlah pengukuran yang harus dilakukan akan semakin sedikit.
Waktu siklus dihitung dengan menggunakan rumus:
1 Keterangan:
x = waktu siklus
x = waktu pengamatan
N = jumlah pengamatan yang dilakukan
Untuk mengetahui apakah jumlah pengamatan yang dilakukan sudah memenuhi syarat (mencukupi) atau masih kurang dapat diketahui dengan rumus:
3Keterangan:
N’ = jumlah pengamatan yang seharusnya dilakukan
s = tingkat kepercayaan
k = konstanta
x = waktu pengamatan
N = jumlah pengamatan yang telah dilakukan
Nilai k ditentukan dengan ketentuan:
a) Jika tingkat kepercayaan 99% maka k = 3
b) Jika tingkat kepercayaan 95% maka k = 2
c) Jika tingkat kepercayaan 68% maka k = 1
b. Keseragaman Data
Test keseragaman data perlu dilakukan sebelum data yang diperoleh ditetapkan waktu standar (waktu normal). Test keseragaman data dapat menggunakan peta kontrol (control chart). Apabila terdapat data yang di atas BKA atau di bawah BKB maka data tersebut perlu dibuang.
BKA = x + 3SD dan BKB = x – 3SD
Keterangan:
BKA = Batas Kontrol Atas atau Upper Control Limit (UCL)
BKB = Batas Kontrol Bawah atau Lower Control Limit (LCL)
SD = Standar Deviasi
c. Performance Rating (Rating Factor)
Di dalam praktek pengukuran kerja, metode penetapan rating performance kerja operator didasarkan pada satu faktor tunggal yaitu operator speed, space atau tempo. Sistem ini dikenal sebagai perfomance rating atau speed rating.
Rating faktor ini umumnya dinyatakan dalam persentase (%) atau angka desimal, di mana performance kerja normal sama dengan 100% atau 1,00. Penetapan besar kecilnya angka ditetapkan oleh sendiri oleh time study analist.
d. Waktu Normal
Rating faktor pada dasarnya digunakan untuk menormalkan waktu kerja yang diperoleh dari pengukuran kerja akibat kecepatan kerja operator yang berbeda-beda. 

e. Waktu Longgar (Allowance) dan Waktu Baku (Standard Time)
Waktu normal semata-mata menunjukkan bahwa seorang operator yang berkualifikasi baik akan bekerja menyelesaikan pekerjaan pada kecepatan kerja yang normal. Pada kenyataannya operator tidak akan mampu bekerja secara terus-menerus tanpa adanya interupsi. Operator akan sering menghentikan kerja dan membutuhkan waktu-waktu khusus untuk keperluan seperti personal needs, istirahat melepas lelah dan alasan-alasan lain di luar kontrolnya.
Waktu longgar yang dibutuhkan dan akan menginterupsi proses produksi ini diklasifikasikan menjadi personal allowance, fatigue allowance, dan delay allowance.
Waktu baku atau waktu standar adalah waktu normal yang telah memperhitungkan waktu-waktu longgar atau allowance tersebut.




Kelelahan Kerja

Label:

Kelelahan adalah suatu mekanisme perlindungan tubuh agar tubuh terhindar dari kerusakan lebih lanjut sehingga terjadi pemulihan setelah istirahat. Istilah kelelahan biasanya menunjukkan kondisi yang berbeda-beda dari setiap individu, tetapi semuanya bermuara kepada kehilangan efisiensi dan penurunan kapasitas kerja serta ketahanan tubuh.
Terdapat dua jenis kelelahan, yaitu kelelahan otot dan kelelahan umum. Kelelahan otot merupakan tremor pada otot atau perasaan nyeri pada otot, sedangkan kelelahan umum ditandai dengan berkurangnya kemauan untuk bekerja yang disebabkan oleh monotoni (pekerjaan yang sifatnya monoton), intensitas dan lamanya kerja fisik, keadaan lingkungan, kondisi mental dan psikologis, status kesehatan, dan gizi. Pengaruh-pengaruh tersebut terakumulasi di dalam tubuh manusia dan menimbulkan perasaan lelah yang dapat menyebabkan seseorang berhenti bekerja (beraktivitas). Kelelahan dapat diatasi dengan beristirahat untuk menyegarkan tubuh. Apabila kelelahan tidak segera diatasi dan pekerja dipakasa untuk terus bekerja, maka kelelahan akan semakin parah dan dapat mengurangi produktivitas pekerja. Kelelahan sama halnya dengan keadaan lapar dan haus sebagai suatu mekanisme untuk mendukung kehidupan.
Di samping kelelahan otot dan kelelahan umum, Grandjean (1988) juga mengklasifikasikan kelelahan ke dalam 7 bagian yaitu:
  1. Kelelahan visual, yaitu meningkatnya kelelahan mata
  2. Kelelahan tubuh secara umum, yaitu kelelahan akibat beban fisik yang berlebihan
  3. Kelelahan mental, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh pekerjaan mental atau intelektual
  4. Kelelahan syaraf, yaitu kelelahan yang disebabkan oleh tekanan berlebihan pada salah satu bagian sistem psikomotor, seperti pada pekerjaan yang membutuhkan keterampilan
  5. Pekerjaan yang bersifat monoton
  6. Kelelahan kronis, yaitu kelelahan akibat akumulasi efek jangka panjang
  7. Kelelahan sirkadian, yaitu bagian dari ritme siang-malam, dan memulai periode tidur yang baru
Sampai saat ini masih berlaku dua teroi tentang kelelahan otot, yaitu teori kimia dan teori syaraf pusat. Teori kimia menjelaskan bahwa terjadinya kelelahan adalah akibat berkurangnya cadangan energy dan meningkatnya sisa metabolism sebagai penyebab hilangnya efisiensi otot. Suma’mur menyatakan bahwa produktivitas mulai menurun setelah empat jam bekerja terus menerus (apapun jenis pekerjaannya) yang disebabkan oleh menurunnya kadar gula di dalam darah. Itulah sebabnya istirahat sangat diperlukan minimal setengah jam setelah empat jam bekerja terus menerus agar pekerja memperoleh kesempatan untuk makan dan menambah energy yang diperlukan tubuh untuk bekerja.
Teori syaraf pusat menjelaskan bahwa bahwa perubahan kimia hanya merupakan penunjang proses. Perubahan kimia yang terjadi menyebabkan dihantarkannya rangsangan syaraf melalui syaraf sensoris ke otak yang disadari sebagai kelelahan otot. Rangsangan aferen ini menghambat pusat-pusat otak dalam mengendalikan gerakan sehingga frekuensi potensial kegiatan pada sel syaraf menjadi berkurang dan menyebabkan menurunnya kekuatan dan kecepatan kontraksi otot serta gerakan atas perintah menjadi lambat. Sehingga semakin lambat gerakan seseorang menunjukkan semakin lelah kondisi seseorang.
Pengukuran Kelelahan
Sampai saat ini belum ada cara untuk mengukur tingkat kelelahan secara langsung. Pengukuran-pengukuran yang dilakukan oleh peneliti sebelumnya hanya berupa indikator yang menunjukkan terjadinya kelelahan akibat kerja. Grandjean (1993) dalam Tarwaka et al (2004) mengelompokkan metode pengukuran kelelahan dalam beberapa kelompok, yaitu:
  1. Kualitas dan kuantitas kerja yang dilakukan
  2. Uji psikomotor
  3. Uji hilangnya kelipan (flicker-fusion test)
  4. Perasaan kelelahan secara subjektif
  5. Uji mental
Referensi:
1) Grandjean, Etienne. 1988. Fitting the Task to the Man 4th Edition. Taylor & Francis Publisher, London.
2) Pulat, Mustafa B. 2002. The Fundamental Ergonomics. Prentice Hall Englewood Cliffs, New Jersey.
3) Tarwaka et al. 2004. Ergonomi untuk Kesehatan, Keselamatan Kerja, dan Produktivitas. UNIBA Press, Surakarta.
4) Suma’mur.1996. Higiene Perusahaan dan Kesehatan Kerja. PT Toko Gunung Agung, Jakarta.




Metode pengukuran Beban Kerja

Label:

Metode pengukuran beban kerja mental meliputi metode obyektif dan subyektif. Metode pengukuran beban kerja mental secara subyektif yang banyak diaplikasikan di Indonesia adalah Subjective Workload Assessment Technique (SWAT) dan NASA TLX (NASA Task Load Index). SWAT dan NASA TLX adalah pengukuran subyektif yang bersifat multidimensional (multidimensional scaling) yang relatif membutuhkan waktu dalam aplikasinya. Sebagai alternatif SWAT dan NASA TLX, Rating Scale Mental Effort (RSME) adalah satu metode pengukuran beban mental subyektif yang bersifat satu dimensi (uni dimensional scalling) yang telah banyak digunakan di berbagai negara.



REBA

Label:

REBA atau Rapid Entire Body Assessment dikembangkan oleh Dr. Sue Hignett dan Dr. Lynn Mc Atamney yang merupakan ergonom dari universitas di Nottingham (University of Nottingham’s Institute of Occuptaional Ergonomic).

Rapid Entire Body Assessment adalah sebuah metode yang dikembangkan dalam bidang ergonomi dan dapat digunakan secara cepat untuk menilai posisi kerja atau postur leher, punggung, lengan pergelangan tangan dan kaki seorang operator. Selain itu metode ini juga dipengaruhi faktor coupling, beban eksternal yang ditopang oleh tubuh serta aktifitas pekerja. Penilaian dengan menggunakan REBA tidak membutuhkan waktu yang lama untuk melengkapi dan melakukan scoring general pada daftar aktivitas yang mengindikasikan perlu adanya pengurangan resiko yang diakibatkan postur kerja operator (Mc Atamney, 2000).

Metode ergonomi tersebut mengevaluasi postur, kekuatan, aktivitas dan faktor coupling yang menimbulkan cidera akibat aktivitas yang berulang–ulang. Penilaian postur kerja dengan metode ini dengan cara pemberian skor resiko antara satu sampai lima belas, yang mana skor yang tertinggi menandakan level yang mengakibatkan resiko yang besar (bahaya) untuk dilakukan dalam bekerja. Hal ini berarti bahwa skor terendah akan menjamin pekerjaan yang diteliti bebas dari ergonomic hazard. REBA dikembangkan untuk mendeteksi postur kerja yang beresiko dan melakukan perbaikan sesegera mungkin.

REBA dikembangkan tanpa membutuhkan piranti khusus. Ini memudahkan peneliti untuk dapat dilatih dalam melakukan pemeriksaan dan pengukuran tanpa biaya peralatan tambahan. Pemeriksaan REBA dapat dilakukan di tempat yang terbatas tanpa menggangu pekerja. Pengembangan REBA terjadi dalam empat tahap. Tahap pertama adalah pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau foto, tahap kedua adalah penentuan sudut–sudut dari bagian tubuh pekerja, tahap ketiga adalah penentuan berat benda yang diangkat, penentuan coupling, dan penentuan aktivitas pekerja. Dan yang terakhir, tahap keempat adalah perhitungan nilai REBA untuk postur yang bersangkutan. Dengan didapatnya nilai REBA tersebut dapat diketahui level resiko dan kebutuhan akan tindakan yang perlu dilakukan untuk perbaikan kerja.

Penilaian postur dan pergerakan kerja menggunakan metode REBA melalui tahapan–tahapan sebagai berikut (Hignett dan McAtamney, 2000) :

  1. Pengambilan data postur pekerja dengan menggunakan bantuan video atau foto. Untuk mendapatkan gambaran sikap (postur) pekerja dari leher, punggung, lengan, pergelangan tangan hingga kaki secara terperinci dilakukan dengan merekam atau memotret postur tubuh pekerja. Hal ini dilakukan supaya peneliti mendapatkan data postur tubuh secara detail (valid), sehingga dari hasil rekaman dan hasil foto bisa didapatkan data akurat untuk tahap perhitungan serta analisis selanjutnya.
  2. Penentuan sudut–sudut dari bagian tubuh pekerja. Setelah didapatkan hasil rekaman dan foto postur tubuh dari pekerja dilakukan perhitungan besar sudut dari masing – masing segmen tubuh yang meliputi punggung (batang tubuh), leher, lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan dan kaki. Pada metode REBA segmen – segmen tubuh tersebut dibagi menjadi dua kelompok, yaitu grup A dan B. Grup A meliputi punggung (batang tubuh), leher dan kaki. Sementara grup B meliputi lengan atas, lengan bawah dan pergelangan tangan. Dari data sudut segmen tubuh pada masing–masing grup dapat diketahui skornya, kemudian dengan skor tersebut digunakan untuk melihat tabel A untuk grup A dan tabel B untuk grup B agar diperoleh skor untuk masing–masing tabel.
Tabel dan Range pergerakan punggung
Tabel dan Range pergerakan leher

Tabel dan Range pergerakan kaki

Tabel dan Range pergerakan lengan atas

Tabel dan Range pergerakan lengan bawah

Tabel dan Range pergerakan pergelangan tangan

Tabel A skor REBA

Tabel B skor REBA

Tabel C skor REBA

Tabel level resiko dan tindakan



RULA

Label:

RULA (Rapid Upper Limb Assessment)RULA merupakan metode ergonomi yang digunakan untuk mengurangi  terjadinya resiko yang berhubungan dengan pekerjaan seseorang pada tubuh bagian atas. RULA ditemukan oleh Dr. Lynn Mc Atamney dan Profesor E. Nigel Corlett pada tahun 1993 di Nothingham, Inggris. RULA dapat membantu untuk
mengurangi resiko cedera pada seorang pekerja. Analisa RULA dapat dilakukan sebelum dan sesudah demonstrasi untuk mengetahui apakah resiko cedera sudah berkurang. RULA digunakan dengan cara mengevaluasi postur tubuh, kekuatan yang dibutuhkan dan gerakan otot pekerja pada saat sedang bekerja. 


Terdapat 5 faktor eksternal yang dapat menjadi faktor resiko yang berhubungan dengan terjadinya cedera pada tubuh bagian atas, yaitu:
·  Jumlah gerakan
·  Kerja otos statis
·  Beban
·  Dimensi peralatan
·  Lama kerja tanpa istirahat.
Perbedaan-perbedaan yang terdapat pada setiap individu pekerja antara lain:
·  Postur tubuh
·  Kecepatan gerakan
·  Akurasi gerakan
·  Frekuensi dan lamanya delay
·  Umur dan pengalaman
·  Faktor sosial
Oleh sebab itu, RULA didesain untuk membahas faktor- faktor resiko di atas
terutama pada 4 faktor eksternal pertama. Adapun tujuan dari metode ini adalah sebagai berikut:
·  Sebagai metode yang dapat dengan cepat mengurangi resiko cedera pada
pekerja, khususnya yang berkaitan dengan tubuh bagian atas.
·  Mengidentifikasikan bagian tubuh yang mengalami kelelahan dan kemungkinan terbesar mengalami cedera.
·  Memberikan hasil analisa dan perbaikan.
Terdapat 3 langkah untuk mendapatkan hasil dari metode RULA:
a. Merekam postur tubuh ketika sedang bekerja.
Bagian tubuh yang dianalisa meliputi: lengan (lengan atas), siku tangan
(lengan bawah), pergelangan tangan, leher, trunk, dan kaki. Padalangkah ini, peneliti merekam dan memasukkan data postur tubuh pekerja pada software  RULA. Kemudian, dari data tersebut dapat diketahui bagian tubuh yang mempunyai kemungkinan terbesar mengalami cedera.
b. Menghitung nilai
Data hasil rekaman yang telah dimasukkan software, dihitung nilainya
untuk masing-masing bagian tubuh.
c.  Action Level .
Dari hasil nilai yang didapatkan, kemudian diklasifikasikan menurut  action level .